BANDUNG – Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis menilai Menkominfo Rudiantara lembut ke asing dan tegas ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menerapkan regulasi telekomunikasi.
Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto, indikatornya terlihat dalam pembuatan regulasi network sharing. Alih-alih memproteksi BUMN, ini malah melempar tanggungjawab aturan tersebut berada di bawah tanggung jawab Menko Perekonomian.
“Ketika kami perjuangkan, Juru Bicara Kominfo menyebut kami salah alamat. Ini agak ironis, karena obyeknya adalah industri telekomunikasi, mengapa harus lempar tanggung jawab kepada Menko Perekonomian?,” ujarnya di Bandung, Minggu (25/09).
Menurut dia, sekalipun pembahasan usulan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) 52 dan PP 53 tentang network sharing di bawah koordinasi Menko Perekonomian, namun proses perubahan Peraturan Pemerintah lazimnya berasal dari departemen/kementerian teknis.
Jika kebijakan ini dilaksanakan, maka tiap operator telekomunikasi di Indonesia wajib membagi jaringan telekomunikasinya kepada operator lain yang notabene kompetitornya. Padahal, di sisi lain, model bisnis yang bersifat wajib ini belum dikenal sama sekali dalam UU Nomor 36 Tahun 1999.
Regulasi ini bila dianalogikan dalam bisnis penerbangan, network sharing sama dengan regulator mewajibkan Lion Air yang punya armada banyak membagi kursi penumpangnya mengangkut penumpang airline lain yang menjadi pesaingnya.
“Padahal infrastruktur atau alat produksi adalah keunggulan utama bisnis. Asset itulah yang menjadi modal sebuah perusahaan bersaing di arena bisnis yang kompetitif. Makanya, kami menyiapkan permohonan judicial review ke MA jika perubahan PP terkait network sharing itu nanti terbit,” ujarnya.
Parameter lain Menkominfo tegas ke BUMN dan lembut ke asing terlihat dalam penarikan pajak ke Google, yang mana begitu lamanya proses pengambilan masukan masyarakat setelah rilis Surat Edaran No.3/2016 per 31 Maret 2016 tentang Kementerian Kominfo yang akan menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur OTT (Over The Top).
Walau sudah lebih dari enam bulan, Menkominfo belum juga memutuskan, sehingga saat Menteri Keuangan saat ini memburu pajak Google dan OTT lainnya, Menkominfo terkesan tergopoh gopoh dan hanya bisa menghimbau Google membayar pajak.
“Harusnya Menkominfo dari lama memaksa Google membuka kantor tetap di Indonesia, sehingga omset iklan digitalnya yang triliyunan rupiah per tahun itu bisa dikenakan pajak sekaligus memproteksi operator telekomunikasi yang terus tertekan OTT. Eh ini malah membuat kebijakan timpang seperti network sharing dan tarif interkoneksi yang membuat kegaduhan tidak perlu,” pungkas Wisnu.(agp)