POJOKBANDUNG.com, Situasi penegakan HAM di Indonesia pada 2015 masih suram. Pemerintahan Jokowi dinilai tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, yang mengesampingkan isu-isu HAM.
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu masih menggantung, sementara tahun ini pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak ramah HAM.
Hal ini diungkap Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar. Menurutnya, situasi penegakan HAM di Indonesia pada 2015 tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Dia melihat, pemerintahan Jokowi tidak melaksanakan janji-janjinya soal penegakan HAM.
“Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai sektor, sejumlah kasus yang terjadi di tahun-tahun yang lampau tidak juga diselesaikan. Malah aturan hukum dan pernyataan-pernyataan pejabat negara yang anti HAM menguat di tahun ini,” katanya di Jakarta.
Haris menuturkan, sepanjang 2015 pihaknya menerima 62 pengaduan publik terkait kasus pelanggaran hak sipil dan politik, terutama isu-isu fundamental seperti hak atas hidup, jaminan perlindungan kebebasan beragama, kasus pembunuhan tanpa proses hukum, hingga penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Terkait hak hidup, sejak Juni 2014 hingga Mei 2015 tercatat tak kurang dari 25 kali eksekusi hukum cambuk dilakukan kepada 183 terpidana, enam di antaranya adalah perempuan.
KontraSjuga mencatat tahun ini telah terjadi 96 praktik intoleransi dan pembatasan kebebasan beragama, dimana Jawa Barat menjadi provinsi dengan insiden pembatasan kebebasan beragama terbanyak dengan 18 peristiwa. Sementara itu, kasus pembatasan kebebasan secara sewenang-wenang tercatat ada 238 peristiwa.
“Selain itu, terdapat 24 pembela HAM, pekerja lingkungan dan masyarakat adat, serta 49 aktivis antikorupsi yang juga dikriminalkan,” katanya.
Soal pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, Haris menyebutkan terdapat 34 pengaduan publik, mulai dari pemenuhan hak-hak buruh, pendampingan konflik tanah dari para petani dengan negara atau korporasi di beberapa wilayah, perbudakan modern, dan lain sebagainya.
Menurut Haris, kasus-kasus tersebut diperburuk dengan munculnya sejumlah aturan, kebijakan dan rencana-rencana pemerintah yang justru menunjukkan sikap anti-HAM.
“Seperti ketidakjelasan rencana penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, sampai saat ini tidak jelas Presiden Jokowi arahnya seperti apa, siapa yang harus mengawal. Jika ini semuatak dibenahi, Kontras memperkirakan 2016 akan menjadi tahun yang jauh lebih represif dimana kebebasan akan semakin menjadi barang langka” tandasnya.
Anggota Divisi Bidang Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Wirataru, menambahkan hampir semua pernyataan para menteri terkait isu kebebasan beragama tidak disertai realisasi.
“Tercatat, tiga kali Mendagri mengatakan bahwa dia akan mencabut regulasi yang diskriminatif terkait isu kebebasan beragama, tetapi dari tiga pernyataan itu tidak ada realisasi yang jelas walaupun dia mengatakan sudah mengevaluasi dan mencabut aturan-aturan tersebut,” sebutnya.
Satrio menerangkan, tiga pernyataan tersebut diungkapkan Mendagri Tjahjo Kumolo pertama kali saat terpilih sebagai menteri. Kemudian, Mendagri juga mengungkapkan hal senada setelah pecahnya insiden Tolikara dan peristiwa Aceh Singkil.
Dia juga menyinggung soal Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 Perihal Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech. “Kebijakan SE Hate Speech yang kita harapkan bisa jadi solusi masalah kebebasan beragama ternyata diselewengkan di detik-detik terakhir menjadi suatu kebijakan bisa mengancam kebebasan beragama,” pungkasnya.